Pulo Aceh,
nama yang tidak asing lagi di Ibukota Banda Aceh. Walaupun demikian saya
memberikan bayangan lagi bagi yang belum terbiasa mendengarkan nama Pulo Aceh. Kawasan
paling ujung Sumatra umumnyan dikenal Pulau Weh Sabang ataupun titik Nol Kilometer,
namun kami ada di sampingnya. Yaitu Pulo Aceh yang merupakan bagian dari Aceh
Besar. Sebuah kecamatan di tengah lautan yang berpenduduk 5 ribuan jiwa. Yang berada
±12
mil dari daratan Banda Aceh.
Pulo Aceh
dulunya dikenal dengan ganjanya, namun selain itu umumnya tidak mau mengenal
alamnya, maupun kebuadayaan yang ada di sana. Walaupun demikian kami ada dengan
potensi di dalamnya. Peninggalan situs sejarah di Ujong Peuneung, Tarian Khas
Likok Pulo, dan juga pesisir pantai dengan pasir putihnya. Sehingga potensi
yang ada tersebut belum bias dinikmati oleh penduduk luar Pulo Aceh.
Anggapan kami,
itu mungkin masih tahap penyediaan infrastruktur untuk mendukung pengelolaan
potensi yang ada di sana. Tapi sampai kapan infrastruktur itu rampung 100%
sehingga potensi yang ada hilang begitu saja tanpa ada yang menikmati
manfaatnya. Pembagunan Jalan Itam “kata Kami untuk Jalan Aspal” masih saja
belum selesai. Dermaga Kapal hanya digunakan untuk memancing, tetapi tidak ada
kapal yang bersandar di sana. Begitu pula dengan asset sejarah yang ada, terus
rapuh dan runtuh dimakan jaman. Padahal banyak cerita dan sejarah yang perlu
dikenang di sana.
Saat kami
melirik pembangunan di daratan hampir setiap lorong sudah ada Aspal yang licin,
banyak tempat yang menjadi sarana rekreasi, dan juga tempat-tempat sejarah
tertata dengan rapi. Sehingga kami bermimpi kapan infrastruktur tersebut biasa
ada di Pulau terpencil ini, sehinngga biasa kami nikmati manfaatnya. Untuk 2012
mungkin hamper menjadi sejarah, akankah angan dan cita tersebut dating di 2013
?